Belajar dari Pengembangan Singkong di NTT dan Sumut

MALANG – Setelah sebelumnya mengadakan acara webinar aspek hulu-hilir singkong, Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian menggelar workshop singkong lanjutan pada Sabtu (04/09) bertemakan “Lesson Learned Pengembangan Singkong di NTT dan Sumut”. Dalam kegiatan tersebut, dosen Universitas Tribhuwana Tunggadewi (UNITRI) yakni Dr. Erwin Ismu Wisnubroto menjadi salah satu pemateri yang menjelaskan tema “Potensi, Kendala, dan Keberlanjutan Pertanian Ubi Kayu di Provinsi Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur”.

Dalam materinya, dijelaskan bahwa melihat dari latar belakang di NTT dimana ubikayu sering digunakan sebagai sumber pangan dan pakan oleh Sebagian penduduk. Harga ubikayu di pasar local untuk pangan berkisar Rp. 7.500-10.000/kg, sementara untuk bahan baku industri, harga ubikayu untuk pakan nyatanya hanya berkisar antara Rp.900-1.500/kg. Permintaan ubikayu untuk bahan baku industri di NTT masih rendah, sehingga banyak petani yang menjual langsung ke pasar dengan kuantitas rendah. Lain halnya dengan di Sumatera Utara dimana petani menanam ubikayu sebagai sumber penghasilan untuk dijual kepada industri. Rerata hasil panen ubikayu rendah berkisar pada 15-20 t/ha dengan varietas ubikayu beragam dan berganti hampir disetiap musim tanam tergantung pada bibit yang ada. Di lokasi studi yakni Kabupaten Pematang siantar, Tobasa dan Simalungun terdapat 150 petani ubikayu yang memiliki system usahatani yang bekerjasama dengan agen-industri atau pabrik yang menghasilkan harga ubikayu dipabrik berkisar antara RP.900-11.000/kg. Berangkat dari hal tersebut, Erwin melakukan kegiatan berpusat di Kabupaten Sikka Provinsi NTT dan Kota Pematang Siantar Provinsi Sumut dengan melakukan beberapa aktifitas.

“Kita berusaha untuk melakukan scoping study and household survey yakni memahami kondisi pertanian ubikayu, analisis rantai nilai dan analisis pemangku kepentingan. Kedua, melakukan agronomic trials yakni uji coba agronomi yang dirancang untuk meningkatkan teknologi dalam budaya singkong rakyat. Ketiga, farmers adoption, yakni keterlibatan petani di lokasi proyek untuk mengadopsi teknologi yang sesuai yang dikembangkan dari uji coba agronomi. Dan terakhir, impact assessment, yakni menganalisis dampak kegiatan dari proyek untuk mencapai pertanian ubikayu yang berkelanjutan”

Hasil dari kegiatan tersebut, lanjut Erwin, yakni analisa impact pathway menunjukkan bahwa pertanian ubikayu baik Provinsi NTT maupun Sumut memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan. Provinsi NTT memiliki lahan pertanian luas yang masih dapat dikembangkan, dan petani memiliki kemauan yang tinggi. Pemerintah Daerah sebaiknya menggandeng pihak industri untuk engage kepada petani. Sedangkan bagi Provinsi Sumut yakni telah berkembang sebagai salah satu sentra produksi ubikayu, dan telah terjalin kemitraan yang baik atara petani – agen – pedagang – pihak industri. Keterlibatan Pemerintah Daerah (dalam hal ini PPL) diharapkan dapat membantu permasalahan petani di dalam hal teknis (agronomi) maupun manajemen (mediasi dengan pihak industri)

Erwin menambahkan, saat ini Ubikayu bukan termasuk tanaman utama untuk kebijakan pangan nasional. Untuk itu diperlukan dukungan kebijakan di tingkat Daerah untuk Pertanian ubikayu skala kecil, Perlindungan harga minimum ubi segar untuk petani yang menjual kepada industri pengolahan, Insentif kepada industri pengolahan yang bertindak langsung di dalam pembinaan petani, serta adanya keterlibatan PPL di dalam pendampingan teknis dan manajemen pertanian ubikayu.

Pada Sabtu (04/09) lalu dilaksanakan kegiatan webinar Masyarakat Singkong Indonesia (MSI). Selain Dr. Erwin Ismu Wisnubroto, webinar juga menghadirkan tiga narasumber lainnya seperti diantaranya Dr. Kartika Noerwijati, S.P., M.Si., dari Balitkabi, Herawati Sirait dari PT. Bumisari Prima, Pematang Siantar, Sumut, dan Tommy Djari dari CV. Mitco, Flores, Nusa Tenggara Timur. Webinar tersebut dibuka oleh Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Dr. Ir. Suwandi, M.Sc. dan Prof. Ir. Achmad Subagio, M.Agr., Ph.D selaku Wakil Ketua MSI Bidang Industri dan Teknologi. Turut hadir pula Prof. Ir. Wani Hadi Utomo, Ph.D. selaku leader kegiatan pengembangan singkong di NTT dan Sumut.

Dalam sambutannya, Prof. Ir. Wani Hadi Utomo, Ph.D mengatakan, kita adalah produsen singkong terbesar keempat dunia, namun kita menjadi importir produk singkong kedua terbesar setelah China. Hal ini karena kita selalu maju mundur dalam pengembangan singkong, lebih banyak mundur daripada majunya. “Indonesia sudah memiliki semua, seperti sumber daya alam, varietas, teknologi, dan biaya sebenarnya kita juga punya. Yang tidak kita miliki adalah kemauan dan kebijakan,” kata Wani. Jumlah peneliti singkong juga sangat sedikit dibandingkan dengan negara lain. “Inilah yang menjadi kendala kita selama ini mengapa singkong tidak tertangani dengan serius, padahal singkong memiliki manfaat luar biasa,” Tuturnya. (HUMAS)

Leave a Reply

Arsip Berita